SEJARAH POLITIK PAPUA

Diposting oleh dubeg voice On 15.46 0 komentar

SEJARAH POLITIK PAPUA PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Admin
Jumat, 19 Juni 2009 07:30

Tumbuhnya paham "Nasionalisme Papua" di Irian Jaya mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan "Cargo-Cultis".

Mungkin yang paling tebuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan "Koreri" dikepulauan Biak, gerakan "Were atau Wege" yang terjadi di Enarotali atau gerakan "Simon Tongkat" yang terjadi di Jayapura. Berhadapan dengan kebrutalan Jepang pada waktu itu, gerakan Koreri di Biak mencapai titik Kulminasinya pada tahun 1942 dengan suatu Proklamasi dan pengibaran Bendera.

Dengan masih didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, pemerintah Belanda di Nieuw Guinea dihadapkan kepada kekurangan personil yang terlatih di berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944 Resident J. P. van Eechoud yang terkenal dengan nama "Vader der Papoea's" (Bapak Orang Papua) mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949. Sekolah inilah yang melahirkan Elite Politik Terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea.

Resident J. P. van Eechoud mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda. Untuk itu setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan atau dipenjarakan dan dibuang keluar Irian Jaya sebagai suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Irian Jaya. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para pemuda terdidik tersebut diatas yaitu antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia yang bernama "Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)". Di Manokwari pada tanggal 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks, Albert Karubuy, Lodwijk dan Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya adalah bahwa seluruh peserta tersebut diatas harus masuk tahanan polisi Belanda untuk lebih dari 3 Bulan, pemerintah Belanda menghadapi tantangan yang berat dari Organisasi PKII sebab mereka mengklaim seluruh Indonesia Timur termasuk West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya) termasuk Wilayah Indonesia. Dua nasionalis Papua lainnya yaitu Frans Kaisepo dan Johan Ariks bergabung dengan Silas Papare. Johan Ariks kemudian menjadi Orang yang sangat anti Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Indonesia dan bukannya membantu Irian Jaya untuk kemerdekaan Irian Jaya itu sendiri. Pada tanggal 16-24 Juli 1946 dilakukan konferensi Malino, hadir pada konferensi tersebut tokoh Nasionalis Papua Frans Kaisepo yang memperkenalkan nama "IRIAN" bagi West Nieuw Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam Indonesia Timur. Tuntutan itu disampaikan dalam Konferensi yang dipimpin oleh wakil pemerintah Belanda Dr. H. J van Mook, namun permintaan tersebut ditolak oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea.

Selain gerakan politik PKII, maka terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Pamongpraja di Kontanica-Hollandia. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis dan Buton yang ada di Niew Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia. Kegiatan itu kemudian diketahui oleh pemerintahan Belanda dan sebagai konsekuensi maka aktivitasnya dilarang, ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident van Eechoud. Kalau PKII itu dibina oleh Dr. Sam Ratulangi yang menjalani pembuangan oleh Belanda ke Serui, maka pada tahun 1954 dr. Gerungan mendirikan suatu gerakan politik di Hollandia yang bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM).

Gerakan atau organisasi politik itu dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey.Nicolaas Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Untuk mewujudkan dan menumbuhkan Nasionalis Papua sebagai suatu misi dan cita-cita, van Eechoud melarang aktivitas PKII dan KIM, dan juga menangkap para pemimpinnya serta membuang mereka ke Makassar, Jawa dan Sumatera yaitu Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Lukas Rumkorem dan Raja Rumagesang. Namun kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah dengan di pimpin oleh beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Abraham Koromat, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, Eli Ujo. Untuk itu, Marten Indey, Kawab,Krey dan Ujo pernah menikmati penjara untuk beberapa saat, tapi semangat perjuangan itu terus hidup dan dilanjutkan di bawah tanah yaitu semangat pro-Indonesia atau semangat ingin menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia.

Eliezer Jan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang dari satu tahun (1963-1964) yang kemudian pada tahun 1970 meninggalkan Irian Jaya dan menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa Bonay semula adalah tokoh yang pro-Indonesia, pada awal integrasi ia dijadikan Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun pada tahun 1964 ia mendesak agar segera dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya dan desakan itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan digantikan oleh Frans Kaisepo.

Untuk menghadapi PKII dan KIM, pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw Guinea. Gerakan ini mempunyai tokoh-tokoh Papua yang terkenal, yaitu Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor dimana mereka itu kemudian menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Belanda dan Nasionalisme Papua.

Pada tahun 1960 dibentuklah suatu "Uni Perdagangan" yang pertama di Nieuw Guinea yang bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (Serikat Sekerja Kristen Nieuw Guinea) yang pada mulanya hanya berhubungan dengan pemerintah Belanda dan pekerja-pekerja kontraktor Eurasia, dan dalam waktu yang singkat keanggotaan orang Papua menjadi 3.000 orang. Organisasi ini yang pada gilirannya bersama Gerakan Persatuan Nieuw Guinea membentuk dasar dan pemimpin dari Partai Nasional.

Pada tiga bulan menjelang akhir tahun 1960, pemerintah Beladan membentuk beberapa partai dan oraganisasi atau gerakan politik sebagai perwujudan dari kebijakan politik dari Kabinet De Quay untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad melalui pemilihan umum, yaitu realisasi dari politik dekolonisasi untuk Nieuw Guinea yang dilakukan secara bertahap. Adapun berbagai partai dan organisasi atau gerakan politik tersebut diatas adalah:

*
Partai Nasional (Parna) diketuai Hermanus Wajoi
*
Democratische Volks Partij (DVP) diketuai A. Runtuboy
*
Kena U Embay (KUE) diketuai Essau Itaar
*
Nasional Partai Papua (NAPPA) Anggota NMC tanggahma
*
Partai Papua Merdeka (PPM) diketuai Moses Rumainum
*
Commite Nasional Papua (CNP) diketuai Williem Inury
*
Front Nasional Papua (PNP) diketuai Lodwijk Ayamiseba
*
Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) diketuai Johan Ariks
*
Eenheids partij Nieuw Guinea (APANG) diketuai L. Mandatjan
*
Sama-Sama Manusia (SSM)
*
Persatuan Kristen Islam Radja Ampat (PERKISRA) diketuai M. N. Majalibit
*
Persatuan Pemuda-Pemudi Papua (PERPEP) diketuai AJF Marey
*
Partai Nasional (PARNA) dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis Papua yang menghendaki suatu pemerintahan sendiri yang secara tegas menolak penggabungan dengan Indonesia. Propaganda Anti Indonesia terus ditingkatkan, dimana pada saat itu West Nieuw Guinea akan diberikan pemerintahan sendiri (Kemerdekaan) oleh Belanda pada tahun 1970 dimana bentuk dan isi dari pemerintahan itu kemudian akan ditentukan. Janji ini yang menyebabkan sebagian pemimpin Papua tidak mengungsi ke negeri Belanda pada saat Belanda harus meninggalkan Irian Jaya, tetapi mereka memutuskan untuk tinggal dan ingin memilih dan menerima kenyataan janji itu setelah Irian Jaya digabungkan dengan Indonesia.

Beberapa pemimpin PARNA yang terkenal adalah Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Womsiwor, Frits Kirihio kemudian dikirim untuk belajar ke Belanda dan berubah pikirannya menjadi pro-Indonesia. Frits Kirihio kemudian berjuang untuk meyakinkan dunia bahwa West Nieuw Guinea merupakan bagian dari Indonesia dan ia diangkat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia. Silas Papare menjadi anggota MPRS dan mereka membentuk suatu Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Silas Papare sangat aktif dalam kegiatan front ini dan diikutkan pada Delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mebicarakan masalah Irian Jaya pada tahun 1962. Pada tahun 1958 hingga tahun 1961 sejumlah pemuda Papua melintas batas ke Indonesia, yang oleh pemerintah Indonesia diterima dan dijadikan atau dilatih menjadi Tentara dalam rangka persiapan perebutan kembali Irian Jaya dari Pemerintah Belanda. Beberapa pemuda yang terkenal pada waktu itu antara lain: A. J. Dimara, Benny Torey, Marinus Imburi (almarhum), Sadrack Rumbobiar, Melkianus Torey, Metusalim Vimbay.

Adapun yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Irian Jaya sesudah perang dunia ke-II dan dengan tekanan Internasional sehubungan dengan adanya sengketa dengan Indonesia, ialah sesuai dengan kebijakan sebagai berikut :

*
Mempercepat pembangunan infra struktur teknis ekonomi, dengan anjuran pembentukan pasar bagi pertanian rakyat dan sama sekali menghidari campur tangan dari pencangkokan ekonomi Hindia Belanda;
*
Secara kuat menganjurkan dasar pengajaran yang dilakukan secara luas atas wilayah dan bersamaan dengan itu dibentuk suatu Elite Papua (Irian Jaya) yang Modern;
*
Meminjamkan dan merangsang supaya se-iya sekata dalam mempercepat pengembangan masyarakat sehingga dapat dibentuk Dewan Daerah dan Dewan Papua;
*
Penolakan kembali situasi kekuasaan dengan menggantikan para pejabat orang Indonesia di Irian Jaya mulai dari atas ke bawah dengan fungsionarisen Belanda yang berkecimpung dalam struktur pemerintah daerah di Irian Jaya yang kemudian dialihkan kepada orang Irian Jaya, untuk itu dipekerjakan tenaga muda Belanda yang antusias serta perwira-perwira Belanda yang aktif dalam tugas;

Maka dipercepatlah Papuanisasi dari kader rendah hingga menengah. Terutama di Hollandia dan Manokwari para kader Nasionalis Papua dibentuk menjadi Elite Politik dengan kemampuan berdiskusi dengan baik, hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Australia di Papua New Guinea (East New Guinea) yang terkenal dengan Bully Beef Club yang melahirkan para pemimpin partai tangguh yang nasionalis radikal di Perguruan Tinggi Administrasi Port Moresby.

Pemilihan umum untuk Nieuw Guinea Raad diselenggarakan dari tanggal 18-25 Februari 1961. Aktivitas Partai Politik dalam rangka pemilihan tersebut menonjol dan penting terutama di Hollandia dan Manokwari sebab di kedua tempat tersebut banyak berdomisili orang-orang Belanda, Indo-Belanda, Indonesia (Ambon, Menado, Jawa, Makssar, Bugis Buton dll) serta kader-kader Papua yang terdidik (kader rendah dan menengah). Pada tanggal 15 April 1961 Nieuw Guinea Raad diresmikan atau disahkan untuk mulai bekerja. Kewenangan yang penting dari Nieuw Guinea Raad adalah: Hak Petisi atau mengajukan permohonan, Hak Interpelasi atau meminta keterangan, menyampaikan nasihat tentang Undang-Undang dan peraturan umum pemerintah yang mengikat bagi Irian Jaya, tugas bantuan berdasarkan Hak Amandemen/Usul perubahan terhadap ketentuan Ordonansi-ordonansi, tugas bantuan terhadap pelaksanaan dari anggaran yang berhubungan dengan tinjauan dan pengamatan pada umumnya.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Nieuw Guinea Raad memiliki kekuasaan Legislatif bersama pemerintah dan melaksanakan beberapa pengawasan terhadap anggaran belanja. Dalam perencanaan pembentukan Nieuw Guinea Raad, Belanda menyadari bahwa lembaga itu pada awalnya mempunyai sarana latihan demokrasi. Pada tahun 1960 telah dibentuk sebuah batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrijwillegers korps) dan berkedudukan di Arfai Manokwari. Setelah pembentukan Nieuw Guinea Raad maka pada tahun 1952 dilanjutkan dengan pembentukan 10 dewan daerah (Streekraad). Implementasi dari "Demokrasi Kolonial" ini bertujuan untuk menindas perasaan-perasaan pro-Indonesia.

Masalah Nieuw Guinea terus menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda, dimana Belanda terus melaksanakan politik Dekolonisasi dan ingin menjadikan Nieuw Guinea sama kedudukannya dengan Suriname dan Antillend. Sengketa yang berkepanjangan itu mendorong menteri luar negeri Belanda Dr. Joseph Luns pada tahun 1961 mengajukan suatu rencana pemecahan masalah Nieuw Guinea pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk sidang umum tanggal 28 November 1961.

Rencana Luns terdiri dari empat (4) Pasal sebagai berikut. Pertama, harus ada jaminan tentang adanya undang-undang tentang penentuan nasib sendiri bagi orang Papua/Irian Jaya. Kedua, harus ada kesediaan sampai terbentuknya pemerintah dengan persetujuan Internasional. Ketiga, sehubungan dengan kesediaan tersebut akan diberikan juga kedaulatan. Keempat, Belanda akan terus membiayai perkembangan masyarakat ketaraf yang lebih tinggi. Secara garis besar rencana ini mengandung pengertian bahwa perlu ada jaminan bagi orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri dan dunia Internasional menjamin terbentuknya suatu pemerintahan yang berdaulat, dan untuk itu Belanda memikul beban pembangunan/pengembangan masyarakat Papua ketaraf yang lebih tinggi/baik.

Sebelum rencana Dr. Luns tersebut dibuat, pada bulan Oktober 1958 dalam suatu konferensi antara para pejabat Belanda dan Australia, dicapailah suatu kesepakatan adanya kerja sama untuk pembentukan "Persatuan Melanesia" (Melanesische Unie), yang mencakup wilayah-wilayah Nieuw Guinea, Bismarck, dan kepulauan Solomon sebagai suatu federasi. Tetapi tidak ada tindak lanjut dari usaha persatuan itu. Satu tahun kemudian diadakan lagi suatu konferensi antara Belanda dan Australia di Canberra tanggal 21-22 Oktober 1959 dan dilanjutkan di Hollandia dalam bulan Maret 1960, dengan agenda dasar mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mempersatukan Nieuw Guinea (wilayah Belanda dan Australia) menjadi satu negara dikemudian hari dan pemerintah Australia menyetujuinya. Usaha inipun gagal dilakukan mengingat Indonesia terus menuntut pengambilan Nieuw Guinea sehingga mendesak Dr. Joseph Luns untuk membuat rencana tersebut diatas.

Di Nieuw Guinea, sebagai jawaban atas rencana Luns yang akan didiskusikan di PBB, maka 5 (lima) dari anggota Nieuw Guinea Raad yang dipimpin oleh Mr. de Rijke merancang suatu manifesto dan membentuk suatu Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang. Komite ini menyelenggarakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh 70 orang Papua terdidik. Dalam pertemuan ini di Hollandia menghasilkan: Bendera Nasional Papua, Lagu Kebangsaan "Hai Tanahku Papua", nama bangsa "Papua" dan nama negara "West Papua" atau "Papua Barat ". Pekerjaan Komite Nasional itu hasilnya kemudian diajukan kepada Nieuw Guinea Raad dan segera mendapatkan persetujuannya. Diakui pula disini bahwa Mr. de Rijke mempunyai peranan yang besar dalam melahirkan hasil dari Komite Nasional tersebut diatas. Hasil ini menyebabkan pemerintah Belanda menunjukan simpati penuh serta dukungan atau bantuan mereka pada aliran Nasional yang tumbuh di Nieuw Guinea atau Irian Jaya.

Pada tanggal 1 November 1961, bendera Nasional Papua dikibarkan sejajar atau bersamaan dengan bendera Belanda dan lagu kebangsaan Papua dinyanyikan pada saat itu. Kegiatan itu mendapatkan publisitas dengan cepat dan meluas baik di Nieuw Guinea, maupun ke penjuru dunia.

Dilain pihak untuk menghadapi politik dekolonisasi dari pemerintah Belanda diatas, maka Presiden Soekarno mencetuskan TRI KOMANDO RAKYAT (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta yang isinya sebagai berikut:

1.
Gagalkan pembentukan "Negara Papua" buatan Belanda Kolonial.
2.
Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
3.
Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

TRIKORA merupakan momentum politik yang penting, sebab dengan TRIKORA maka pemerintah Belanda dipaksa untuk menandatangani perjanjian di PBB yang dikenal dengan Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 mengenai Nieuw Guinea.
LAST_UPDATED2

Polisi Tetap Pantau Perkembangan di Bolakme

Diposting oleh dubeg voice On 22.41 3 komentar

JAYAWIJAYA-Aksi pengibaran bendera Bintang Kejora di Gunung Jugum, Kampung Lakwame, Distrik Bolakme, Kabupaten Jayawijaya oleh sekelompok orang tidak dikenal yang hingga saat ini masih berkibar, tampaknya masih tetap dipantau oleh pihak kepolisian. Sekadar diketahui, segala bentuk upaya pendekatan secara persuasif oleh pemerintah daerah sudah dilakukan bahkan telah mengutus denominasi gereja sebagai mediator untuk bisa bertemu dengan kelompok itu, namun gagal sebab mereka yang diduga dari TPN/OPM gabungan) menolak semua utusan yang datang menemui mereka.
Menyikapi permasalahan hal itu, Kapolres Jayawijaya, AKBP. Drs. MH Ritonga, M.Si mengakui, pihaknya belum mengetahui secara pasti apakah bendera tersebut sudah diturunkan atau belum, namun dirinya telah memerintahkan anggota di Polsek Bolakme untuk tetap memantau perkembangan situasi di lokasi tersebut.
"Saya belum tahu secara pasti apakah bendera tersebut masih berkibar atau sudah diturunkan, saya sudah memerintahkan anggota di Polsek Bolakme untuk tetap waspada terhadap situasi yang berkembang,"ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, Jumat (21/8) kemarin.Dikatakan, pihaknya sampai saat ini belum mengetahui secara pasti apa maksud dan tujuan mereka, sebab tidak ada seorang pelaku pengibar bendera tersebut yang mau bertanggungjawab sehingga pihaknya tidak mau mengambil tindakan yang tidak sesuai prosedur bahkan nantinya dikatakan melanggar HAM. Untuk itu, lanjutnya, pihaknya masih tetap menunggu koordinasi dengan pemerintah daerah untuk langkah-langkah selanjutnya.
Lebih lanjut diungkapkan, pihaknya tidak terlalu percaya terhadap bentuk surat disampaikan oleh mereka sebab surat tersebut tidak jelas kemana tujuannya bahkan tidak jelas ditujukan kepada siapa. "Ya memang ada surat yang mereka sampaikan tapi kami tidak terlalu percaya sebab surat tersebut tidak jelas kepada siapa tujuannya,"terangnya. Oleh karena itu, langkah yang masih dilakukan adalah masih menunggu perkembangan selanjutnya. (nal)

Jayapura, 25 Maret 2009. Setelah menjalani empat kali tahap pemeriksaan, kali ini Buchtar Tabuni menjalani pemeriksaan tahap ke lima. Buchtar Tabuni dibawa oleh mobil kejaksaan dan digiring oleh dua truk Polisi menuju Pengadilan Negeri Abepura dari arah Jayapura pada tanggal 25 Maret 2009 sekitar pukul 09.00 WP. Seperti sidang-sidang sebelumnya, pihak polisi melakukan pengawalan ketat. Pihak keamanan terdiri dari kesatuan Samapta, Reskrim (Polresta, Polsek Abepura), dan Brimobda Papua ( termasuk tim gegana) dengan menggunakan senjata lengkap. Tepat pukul 10.30 sidang dibuka oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Manungku Prasetyo, SH dengan hakim anggota masing-masing Lucky Rombot Kalalo, SH dan Hotnar Simarmata, SH. Sebelum memulai sidang Buchtar Tabuni ditanyai tentang kesehatannya. Sidang dapat dilaksanakan karena Buchtar Tabuni dalam keadaan sehat ketika ditanyai. Sidang dilanjutkan dengan menanyakan keterangan saksi-saksi. Keterangan para saksi : Saksi Mario Warimon, Anggota Polresta Jayapura Mengikuti apel di Polsekta pada pk.06.00 untuk pengamanan unjuk rasa di Gapura Uncen. Ada surat perintah pengamanan tetapi tidak baca dan tidak tahu isinya. Saksi bertugas merekam proses demonstrasi. Tahu isi orasi di Gapura Uncen, dan ada pamflet (sapanduk) yang isinya reviuw Peperara 1969. Saksi melihat Buchtar di Uncen dan Ekspo. Selama orasi tidak ada gangguan keamanan. Semua berjalan lancar dan bisa dikendalikan. Massa berkumpul hendak ke Jayapura DPRP dengan tujuan apa, tidak diketahui. Saksi Pieter Kalahatu, Wakapolsekta Abepura Peran saksi pada pengamanan unjuk rasa adalah mengatur arus lalu lintas bersama seniornya, Pak Dance dari Polda Papua. Ada surat perintah pengamanan, tetapi tidak tahu isi suratnya. Pada kesempatan ini, PH Harry Maturbongs, SH meminta Majelis Hakim menghadirkan saksi atas nama Kapolresta dan Kapolsekta, tetapi ditolak. Saksi Habel Mansi, Kanit Lantas Polsekta Abepura Apel di Polsekta pk. 06.00 WP, selanjutnya melakukan sweeping di Lingkaran Atas Abe. Saksi ke Gapura Uncen dan lihat Buchtar Tabuni. Saksi bertugas mengatur jalannya arus lalulintas. Dan sepengetahuan saksi tidak terjadi kemacetan karena arus lalulintas dialihkan ke arah belakang ekspo. Saksi lebih banyak mengatakan tidak tahu karena sibuk mengatur lalulintas dan karenanya tidak memperhatikan apa yang dilakukan oleh massa dan terdakwa.
Sedangkan di luar sidang sekitar pukul 09.00 beberapa mahasiswa yang berusaha masuk ke dalam halaman kantor Pengadilan tidak diijinkan oleh aparat keamanan yang berjaga di pagar pintu masuk halaman pegadilan Negeri, Abepura. Pada pukul 10.00 WP, beberapa mahasiswa berkumpul di depan Regina moll. Pada pukul 10.45 WP, massa melakukan orasi damai yang dikawal oleh pihak keamanan. Pihak keamanan yang mengawal massa pada saat itu diperkirakan sebanyak 100 orang dan mahasiswa yang berorasi pada saat itu diperkirakan sebanyak 100 orang. Berikut ini beberapa isi dari orasi damai mahasiswa : kita datang di sini berbicara tentang demokrasi dan kebenaran, jadi kalau ada diantara kita yang sakit hati kita tahan. Kita tidak sadar bahwa ketika kita semua berintegraksi di Indonesia, maka sama saja kita mengaktifkan bom waktu untuk membunuh kita punya ras, kita punya bangsa 30 tahun mendatang. Maka itu Kita minta supaya Buchtar Tabuni dibebaskan, dan yang harus memperjuangkan ini adalah teman-teman semua. Buchtar, bebaskan Buchtar Bebaskan Buchtar bebaskan massa menyanyikan lagu : stop baku tipu, stop baku tipu, stop baku tipu di luar sidang, di luar sidang, diiringi dengan sebuah guitar akustik. Yang kita inginkan hanya satu, kami hanya inginkan referendum itu saja. Karena kami minta itu, makanya dong sengaja mo iris tong punya leher, kita semua nanti dapat bagian satu-satu, kamu siap untuk lawan.
Setelah mengalami penangkapan tanggal 3 Desember 2008, Buchktar Tabuni menjalani masa tahanan untuk menjalani proses persidangan. Buchtar Tabuni didakwa melakukan perbuatan Makar pada aksi IPWP (Inter-Parliamentarian for West Papua) tgl. 16 Oktober 2008, menghasut dan melawan petugas berwenang sebagaimana tercantum dalam 106 KUHP jo 110 KUHP dan pasal 212 KUHP dan pasal 216

Jayapura, 6 Juni 2009.Tim Lobi Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) menggelar pertemuan koordinasi guna menyikapi pernyataan eksekutif maupun legislatif mengenai pembangunan pasar di tengah Kota Jayapura bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP). Pertemuan berlangsung di Kantor Keuskupan Jayapura, pada Jumat, 29 Mei 2009. Direktur SKP Keuskupan Jayapura selaku Koordinator Tim Lobi SOLPAP mengatakan pertemuan kali ini bertujuan menyikapi kesimpangsiuran pembangunan pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua yang berjualan di Kota Jayapura. "Pokok permasalahan sekarang, ada pihak yang mengatakan anggaran pembangunan pasar bagi Mama-Mama telah dialokasikan, tetapi ada juga pihak yang mengatakan tidak dianggarkan bahkan tidak ada uang. Berkaitan dengan soal ini, apa yang harus kita lakukan?". Sementara itu, Mientje Roembiak, (Pokja Perempuan MRP) mengatakan pihaknya sudah lama berjuang supaya pasar bagi Mama-Mama Papua segera dibangun tetapi hingga saat ini belum terlaksana. "Menjelang akhir Desember 2008, kami empat orang dari MRP, tiga orang perwakilan Mama-Mama, Frederika Korain (SKP Jayapura) dan Ketua Pansus Pasar DPRP, Jan L. Ayomi melakukan pertemuan di Kantor DPRP. Pada waktu itu, saya langsung telepon Achmad Hatari dan menanyakan perihal dana/anggaran pembangunan pasar untuk Mama-Mama. Hatari menjawab bahwa dana telah dialokasikan, tetapi mengapa sekarang bilang tidak ada uang?", kata Mientje Roembiak. Berdasarkan fakta ketidakseriusan yang ditunjukkan oleh Pemerintah untuk segera membangun pasar, maka Miryam Ambolon, salah seorang anggota Pansus Pasar DPRP mengatakan kita harus mendorong Pansus Pasar DPRP terus bekerja karena Pansus memiliki kekuatan yang besar untuk meminta Pemerintah segera bangun pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua di tengah Kota Jayapura. Pertemuan ini menghasilkan dua keputusan bersama yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat yaitu, 1) Melakukan pertemuan dengan Pansus Pasar DPRP dan meminta Pansus untuk menjalankan tugas koordinasinya mengundang Pemprov, Pemkot, Pansus Pasar dan Tim Lobi SOLPAP untuk duduk bersama ; 2) Melakukan audiensi dengan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu untuk dua hal; a) Meminta ketegasan Pemprov soal komitmen, terutama anggaran pembangunan pasar bagi Mama-Mama Pedagang Asli Papua; b) Meminta Gubernur menggunakan kewenangannya untuk mengatur pasar secara tertulis.
Pada pk 14.22 -15.10 WP dilakukan jumpa pers yang dipimpin langsung oleh Koordinator Tim Lobi SOLPAP, Br. Rudolf Kambayong ofm didampingi oleh Olga Hamadi (Kontras Papua), Mama Neli Pekey & Heronia Mur, (Perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua), Miryam Ambolon (Pansus Pasar DPRP), Manfred Naa, SH (Praktisi Hukum). Adapun isi tuntutan yang dikemukakan oleh Tim Lobi SOLPAP adalah sebagai berikut, 1. Alokasi anggaran bagi pembangunan pasar modern Mama-Mama Pedagang Asli Papua di Kota Jayapura, harus dimasukkan pada semester kedua tahun ini tanpa alasan apa pun. Mengingat koordinasi teknis antara Pemerintah Kota dan Pemprov telah usai sejak Walikota bersurat ke Pemprov. 2. Pasar harus dibangun modern dengan corak khas Papua dan berada di tengah-tengah kota Jayapura, seperti yang kami usulkan dalam beberapa kesempatan tatap muka dengan Pemprov, DPRP, dan Pemkot dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. 3. Pansus Pasar khusus untuk Mama-Mama Pedagang Asli Papua hendaknya bekerja secara sungguh-sungguh mengawasi dan rutin memonitor alokasi anggaran bagi pembangunan pasar Mama-Mama sampai pembangunan pasar terealisasi. 4. Pansus juga segera memfasilitasi pertemuan antara Pemkot dan Pemprov agar ada kejelasan mengenai rencana realisasi pembangunan pasar. 5. Supaya kinerja pemerintah lebih efektif dan tidak mengorbankan masyarakat lagi dengan alasan teknis birokrasi, sebaiknya mulai sekarang Pemprov membenahi sistem administrasi dan koordinasi internal agar memudahkan respon yang cepat terhadap kebutuhan masyarakat. Pertemuan Tim Lobi SOLPAP dan konferensi pers diikuti oleh SKP Keuskupan Jayapura, Kontras Papua, KPKC Sinode GKI Tanah Papua, LP3A-Papua , Pokja Perempuan MRP, Pansus DPRP, KKRS STFT Fajar Timur, Front Pepera, UKM DEHALING Uncen, Praktisi Hukum, dan Perwakilan Mama-Mama Pedagang Asli Papua (MPAP).

Otsus Dinilai Mandul, DAP Ngotot Merdeka

Diposting oleh dubeg voice On 08.56 0 komentar

SENTANI – Otonomi Khusus (Otsus) yang ditawarkan oleh permintah pusat untuk Papua dirasa mandul dan belum menjawab keinginan dan kebutuhan dasar masyarakat asli Papua di tingkat dasar, karena Otsus dianggap masih sebagai santapan kalangan atas dan tertentu saja.Dan tidak ada solusi yang lebih pas selain Papua melepaskan diri dari NKRI, karena dengan kemerdekaan mutlak itu maka masyarakat punya kewenangan penuh untuk mengatur, menentukan dan meningkatkan kesejahteraan mereka secara mandiri, apalagi dengan potensi yang melimpah, diyakini bisa menjadi satu peluang bahwa Papua mampu eksis sebagai negara ketimbang sebagai provinsi khusus.Demikian beberapa aspirasi yang disampaikan oleh para masyarakat dan pentolan Dewan Adat Papua (DAP) pada acara dialog Kesbangpol Departemen Dalam Negeri bersama komponen masyarakat Papua yang berlangsung di Rumah Adat Papua di Sabron Sari kediaman Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yoboysembut pada Jumat (31/7) dengan tema ‘’Menjaring aspirasi masyarakat Papua dan mencari akar permasalahan menuju Papua zona damai’’. Pada dialog tersebut yang diawali oleh Pdt.Maksibe, dan Pdt.Waromi, kemudian dilanjutkan dengan lagu Indonesia raya dan ditutup dengan lagu Hai Tanahku Papua, meskipun hanya berlangsung singkat yaitu mulai pada pukul 10.45 Wit sampai dengan pukul 13.00 Wit, tapi semua unek-unek dan persoalan yang dihadapi masyarakat Papua selama ini disampaikan, termasuk keinginan mereka untuk melakukan dialog dengan pemerintah Indonesia yang tidak perna tercapai, dan keinginan untuk memisahkan diri dari bingkai NKRI yang diharapkan segera tercapai.Seperti yang disampaikan oleh Markus Haluk Wakil Sekretaris DAP mewakili Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboysembut yang khabarnya tengah menlakukan check up kesehatan, dalam sambutan awalnya bahwa berbagai persoalan terus terjadi di Papua, akar permasalahannya hanya ada empat poin diantaranya adalah sejarah, pelanggaran hak asasi manusai, diskriminasi dan ketidak adilan, dan marginalisasi.Terjadinya konflik dimana-mana seperti di Timika, di lapangan Kaysepo, di Waropen, yang mengakibatkan aparat keamanan meninggal sebanyak 10 orang, dan masyarakat Papua sebanyak 20 orang, belum lagi yang mengalami kekerasan pisik, penangkapan Ondoafi di Sentani, Aksi pengibaran Bintang Kejora yang terus terjadi baik sebelum tanggal 1 Juli maupun pada tanggal 1 Juli.Penggerebekan kantor DAP yang sampai saat ini masih ada kerusakan dimana-mana, pembunuhan Opinus yang sampai saat ini belum terungkap, dan masih banyak lagi, percikan-percikan halus bermunculan tuduhan kepada orang Papua bahwa yang melakukan adalah TPN/OPM, separatis, yang juga ketua Dewan Adat termasuk, menggambarkan bahwa seolah-olah ada konflik antara Papua dengan Pemerintah Indonesiua, namun semua pihak termasuk pemerintah tidak pernah memikirkan untuk duduk bersama mencari akar permasalahan tersebut apa yang harus dilakukan untuk menyeledaikan persoalan ini. Hadir dalam acara dialog yang dilaksanakan di kediaman Ketua DAP Forkorus Yaboisembut di Kampung Sabron Distrik Sentani dihadiri sekitar 50-an simpatisan dan anggota DAP, terlihat dalam acara tersebut Beberapa anggota Dewan Adat seperti Bernand Banundi sebagai perwakilan Dewan Adat Moy, Marten, Musa Waromi, Domunggus, Serapina Wangis, Terianus Yoku, Bernike Ayakeding."kami menginginkan pemisahan diri dari NKRI dengan baik-baik, dan siap membantu Indonesia membayar utang ke luar negeri, dan siap mengakomodir masyarakat non Papua yang ada di Papua sebagai masyarakat Papua", celetuk salah seorang anggota DAP yang mengaku bernama Frans dalam sesi dialog.Sedangkan Terianus Yoku selaku Presiden Nasional Konsoliasi Papua Barat meminta dihapuskan dan penghentian militeralisme dari Papua, begitupun dengan pejabat-pejabat yang ada sekarang, karena mereka hanya tinggal berjuang untuk mendapatkan jabatan yang tertinggi, dan perjuangan ini sampai kepada anggota DPRD, yang tujuannya hanya satu bagaimana mereka mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya, dan mereka ini menimbulkan konfik di Papua, tidak perna berfikir bagaimana menyelesaikan persoalan yang sedang dialami masyarakat Papua.Untuk itu masyarakat Papua yang telah membentuk tim 100 untuk mengembalikan Otonomi Khusus ke Pemerintah Pusat, karena Otsus yang diberikan ke Papua karean adanya aspirasi masyarakat meminta merdeka, namun kenyataannya dilapangan bukan untuk masyarakat tapi dinikmati oleh pejabat di Papua, yang sebenarnya itu adalah OPM bukan masyarakat yang sering disebut-sebut selama ini.‘’Kami masyarakat yang tinggal di kampung, yang hanya hidup dari hasil kebun, jadi kami harus bekerja untuk mencari makan anak-anak kami, kami harus masuk hutan baru kami bisa makan, kami tidak perna memikirkan Otsus yang selama ini diributkan, memang kami dengar bahwa Otsus untuk ini, untuk itu tapi kami tidak perna merasakan itu,’’, Serapina Wangis yang mengaku sebagai perwakilan mama OPM dari KeeromUntuk itu Otsus bagi kami, telah kami masukkan ke dalam peti, dan kami kubur dalam-dalam dan kami anggap Otsus itu tidak ada, solusi bagi Papua hanya satu adalah merdeka. Karena persoalan Papua adalah persoalan politik maka harus diselesaikan dengan politik juga, untuk itu masyarakat Papua lewat kesempatan tersebut mengharapkan kepada dirjen Kesngpol untuk memfasilitas mereka bertemu dengan Presiden terpilih SBY, untuk berdialog baik nasional maupun internasional dengan menghadirkan pihak ketiga.Sementara oleh Dirjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri Drs.Tandri Bali, SH, yang didampingi Direktur Penanganan Konfilk Depdagri Drs. Widianto, M.Si kepada wartawan yang ditemui seusia dialog mengatakan, pihaknya hanya sebatas mencari tahu akar permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di Papua, untuk itu pada pertemuan tersebut, pihaknya tidak memberikan penjelasan dan tidak memberikan kesimpulan dari dialog tersebut.‘’intinya kami hanya mendengar apa keluhan mereka dan apa yang dialami, buktinya apa yang daialami, apa yang dirasakan diutarakan semua, hasil dari dialog ini akan saya teruskan ke Mendagri sebagai atasan saya,’’ terangnyaHal yang sama juga dikemukakan oleh Markus Haluk, sangat menyambut baik kedatangan dirjen Kesbangpol Depdagri ini, karena selama ini masyarakat Papua, ingin berdialog dengan Pemerintah Pusat, namun tidak perna satu pun pemerintah yang mendengar aspirasi masyarakat tersebut.Karena persoalan yang dihadapi masyarakat selama ini yaitu ketidak adilan, pelanggaran ham, kekagagalan Otsus, mereka ingin menyampaikan hal ini tapi mereka tidak tahu mau kemana, untuk itu masyarakat Papua merindukan dialog, baik nasional maupun internasional, seperti ke PBB, Afrika, dan Belanda.‘’Sangat baik, mereka datang mendengar langsung apa yang dirasakan masyarakat Papua, akan tetapi jika nanti setelah mereka pulang dan ada lagi yang datang untuk berdialog dengan kami, kami tidak terima,’’ tegas Markus. (iim) Ditulis oleh Bintangpapua.com Kamis, 06 Agustus 2009 07:32

SEJARAH PEMILU

Diposting oleh dubeg voice On 08.49 0 komentar

pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Sudah sembilan kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat itu.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu.
Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Pemilu 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun pada 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof Ismail Sunny-- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu.
Malah pada 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

Pemilu 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun pada 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof Ismail Sunny-- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu.
Malah pada 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi.
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.

Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie.
Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Ketiga draf UU ini disiapkan sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof Dr M Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi perdana menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak dia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999. Nomor Nama Partai
1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19 PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat pada 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord.
Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.

Pemilu 2004
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) -- pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Pentahapan Pemilu 2004
Pemilu ini dibagi menjadi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap):
Tahap pertama (atau pemilu legislatif") adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada 5 April 2004.
Tahap kedua (atau pemilu presiden putaran pertama) adalah untuk memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada 5 Juli 2004.
Tahap ketiga (atau pemilu presiden putaran kedua) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini dilaksanakan pada 20 September 2004.
Pemilu Legislatif 2004
Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.By (Yuna)

About Me

Foto Saya
dubeg voice
saya ini
Lihat profil lengkapku

Followers